![]() |
(Ilustrasi) |
Di dunia yang dipenuhi pencarian pengakuan, kita seringkali lupa membedakan antara cinta yang tulus dan keinginan akan validasi.
Kutipan yang dikaitkan dengan filsuf Stoik Epictetus “Jika kamu berubah agar bisa dicintai, itu bukan cinta, tapi validasi” mengguncang kesadaran kita.
Kata-kata ini sederhana, namun mengandung arti filosofis yang dalam, dan terus memaksa kita untuk bertanya: Apakah kita benar-benar dicintai apa adanya, ataukah hanya karena kita memenuhi ekspektasi orang lain?
Cinta dan Ekspektasi
Cinta sejati menurut Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving, adalah tindakan memberi tanpa pamrih, tanpa tuntutan untuk mengubah orang yang kita cintai agar sesuai dengan kehendak serta keinginan kita.
“Cinta bukanlah transaksi. Cinta adalah komitmen untuk melihat dan menerima seseorang dalam keutuhannya,” tulis Fromm.
Ekspetasi adalah keinginan atau harapan kita terhadap orang lain tentang bagaimana ia bersikap dan bagaimana mencintai kita. Namun, kadang semuanya tak sesuai dengan realitanya.
Dalam banyak hubungan, kita seringkali tidak sadar menyesuaikan perilaku kita, minat, bahkan mimpi kita, demi mempertahankan perhatian orang lain yang belum tentu ia memperhatikan kita.
Proses ini memang lambat namun seiring berjalannya waktu pasti mengikis jati diri kita yang sebenarnya.
Validasi: Candu yang Tak Terlihat, But?
Validasi adalah kebutuhan manusia yang alami.
Kita semua ingin diakui, dihargai, dan dianggap berarti oleh orang bahkan semua orang. Masalah ini muncul ketika validasi menjadi sumber utama harga diri.
Seperti yang dikatakan Brené Brown, peneliti dan penulis ternama, “Ketika kita menggantungkan harga diri pada persetujuan orang lain, kita akan terjebak dalam siklus rasa takut dan keraguan.”
Epictetus, seorang filsuf Stoik, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari kendali atas pikiran dan reaksi kita sendiri, bukan dari penilaian orang luar.
“Jika kamu ingin menjadi bijak, lepaskan perhatian pada apa yang tidak berada dalam kendalimu,” ujarnya.
Pendapat ini sangat relevan dengan topik validasi, sebab penilaian orang lain sepenuhnya berada di luar kendali kita.
Mengubah diri demi cinta yang bersyarat bukan hanya mengorbankan keaslian kita, tetapi juga menciptakan hubungan yang rapuh.
Cinta yang bergantung pada versi tertentu dari diri kita akan runtuh begitu kita lelah untuk berpura-pura.
Cinta yang sehat akan memberikan ruang untuk bertumbuh, tanpa mengubah diri kita, siapa kita dan bagaimana kita .
Cinta mendorong kita menjadi versi terbaik dari diri kita, bukan versi yang paling sesuai dengan keinginan orang lain.
Mencintai dan dicintai apa adanya memang menuntut keberanian.
Cinta yang memaksa kita melepas jati diri adalah cinta yang sedang menyamar sebagai candu validasi. (Ludgardis Amostry)
0 Komentar